“Barangsiapa
yang menikahkan (putrinya) karea silau akan kekayaan lelaki itu meskipun agama
dan akhlaknya buruk, maka tidak akan pernah pernikahana itu dibarakahi-Nya.”
Beberapa waktu lalu seorang kawan
bercerita kepada saya tentang pengalamannya meminta seorang gadis di desa
seberang. Bukan untuknya melainkan untuk seorang laki-laki yang masuk dalam
kekerabatan si kawan tadi. Memang masyarakat disini masih menjunjung tinggi
gotong royong, musyawarah dan sebagainya. Di sela-sela ceritanya yang makin ngeselin, ia tiba-tiba nyeletuk “Anak
kok dibikin kayak sapi. Dihargai cuma lima belas juta.” Kami yang mendengarnya
hanya bisa nyengir kuda berharap kejadian yang sama tidak akan terulang untuk
kedua kalinya.
Berbeda dengan cerita di atas,
kejadian yang sama namun bukan pada proses meminta tetapi setelahnya. Sebut
saja si Iwan yang telah menikahi Si Rina selama tiga bulan pertama dengan uang seserahan yang tidak bisa dikatakan
murah meledek istrinya dengan telak, ”Dek, lauknya mana?” Iwan bertanya
sepulang mengajar. Si istri menjawab, “Uangnya mana?” sambil berlalu dari dapur
tercinta. Iwan tak memicingkan mata. Mulutnya pun malas untuk monyong. Lantas
ia berkata pada istrinya, “Sabar yah, belum ada uang. Tabungan yang tiga puluh
juta kan udah habis pas minang adek dulu. Jadi nggak apa-apa kan makan nasi
aking dulu?” yang monyong kini istrinya.
Dari cerita di atas, saya hanya
ingin menyampaikan bahwa begitu rumitnya jalan menuju pernikahan bagi si
laki-laki untuk meminang permpuan. Pantaslah jika sebagian dari kita berpikir
seribu kali sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang
pernikahan. Untuk masalah ini, syarat nikah hendaknya harus dipahami oleh kedua
belah pihak. Syarat nikah ini bisa saja diberikan oleh si perempuan kepada si
lelaki. Namun orang tua juga bisa mengajukan syarat kepada anak gadisnya untuk
diberikan kembali kepada si lelaki. Isinya pun boleh diluar materi pernikahan
itu sendiri. Misalkan, si lelaki harus punya rumah dulu baru boleh menikahi. Syarat
seperti ini sebetulnya tidak menjadi masalah asalkan kedua belah pihak setuju
dengan syarat tersebut. Sebuah hadits mengatakan, Rasulullah bersabda,
“Seorang wanita yang penuh barakah dan
mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya dan akhlahnya baik. Namun sebaliknya, wanita
yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk
akhlaknya.”
Adat telah membentuk pribadi
masyarakat kita menjadi pribadi yang materialistis. Betapa tidak, sebelum akad
dilangsungkan si lelaki sudah disibukkan dengan memikirkan uang yang akan
diserahkan kepada orang tua si perempuan. Ini berbeda dengan mahar yang
ditentukan antara si perempuan dan si lelaki. Jumlah seserahan tersebut pun
sangat variatif bergantung dari strata sosial seseorang. Bahkan di beberapa
kejadian, lelaki dengan kondisi ekonomi menengah kebawah dipaksa secara tidak
langsung untuk menyiapkan sejumlah uang dalam jumlah besar agar bisa menikahi
si perempuan. Yang menjadi poin di pembahasan ini adalah bahwa mempersulit
berbeda dengan kesulitan. Adakalanya terhambatnya akad nikah karena keluarga
wanita mempersulit proses pernikahan. Adakalanya kedua pihak tidak mempersulit
proses namun mereka menemui kesulitan-kesulitan. Wallahualam bissawab.
Disisi lain, di sebagian
masyarakat ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Di sebagian
masyarakat, pernikahan sudah bukan lagi bentuk syukur kepada Allah dengan
mengharap do’a barakah dari para tamu untuk kedua mempelai. Pesta pernikahan
sudah menjadi pertaruhan strata sosial sehingga perhitungan-perhitungan
penilaian sosial menjadi sangat diperhatikan. Seharusnya pernikahan itu sangat
sensitif. Hampir setiap hal yang berkaitan dengan nikah sangat sensitif .
hampir setiap proses dan tahap peka terhadap munculnya sikap maupun
perasaan-perasaan tertentu secara khusus, baik yang dinyatakan maupun tidak.
Apa saja yang ada dalam proses menuju pernikahan maupun fase-fase awal
pernikahan mudah membangkitkan perasaan yang kuat, negatif maupun positif.
Untuk itu, ada baiknya bagi si laki-laki dan perempuan untuk mengutarakan
konsep pernikahan yang mereka inginkan agar terhindar dari murka Allah.
Setidaknya yang seperti itu lebih baik untuk keluarga kedua belah pihak.
Semoga! (Ardi, KM-GPK)