Selasa, 12 Juni 2012

PERNIKAHAN DAN RETORIKA ADAT


 Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karea silau akan kekayaan lelaki itu meskipun agama dan akhlaknya buruk, maka tidak akan pernah pernikahana itu dibarakahi-Nya.”

        Beberapa waktu lalu seorang kawan bercerita kepada saya tentang pengalamannya meminta seorang gadis di desa seberang. Bukan untuknya melainkan untuk seorang laki-laki yang masuk dalam kekerabatan si kawan tadi. Memang masyarakat disini masih menjunjung tinggi gotong royong, musyawarah dan sebagainya. Di sela-sela ceritanya yang makin ngeselin, ia tiba-tiba nyeletuk “Anak kok dibikin kayak sapi. Dihargai cuma lima belas juta.” Kami yang mendengarnya hanya bisa nyengir kuda berharap kejadian yang sama tidak akan terulang untuk kedua kalinya.

       Berbeda dengan cerita di atas, kejadian yang sama namun bukan pada proses meminta tetapi setelahnya. Sebut saja si Iwan yang telah menikahi Si Rina selama tiga bulan pertama dengan uang seserahan yang tidak bisa dikatakan murah meledek istrinya dengan telak, ”Dek, lauknya mana?” Iwan bertanya sepulang mengajar. Si istri menjawab, “Uangnya mana?” sambil berlalu dari dapur tercinta. Iwan tak memicingkan mata. Mulutnya pun malas untuk monyong. Lantas ia berkata pada istrinya, “Sabar yah, belum ada uang. Tabungan yang tiga puluh juta kan udah habis pas minang adek dulu. Jadi nggak apa-apa kan makan nasi aking dulu?” yang monyong kini istrinya.
        Dari cerita di atas, saya hanya ingin menyampaikan bahwa begitu rumitnya jalan menuju pernikahan bagi si laki-laki untuk meminang permpuan. Pantaslah jika sebagian dari kita berpikir seribu kali sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Untuk masalah ini, syarat nikah hendaknya harus dipahami oleh kedua belah pihak. Syarat nikah ini bisa saja diberikan oleh si perempuan kepada si lelaki. Namun orang tua juga bisa mengajukan syarat kepada anak gadisnya untuk diberikan kembali kepada si lelaki. Isinya pun boleh diluar materi pernikahan itu sendiri. Misalkan, si lelaki harus punya rumah dulu baru boleh menikahi. Syarat seperti ini sebetulnya tidak menjadi masalah asalkan kedua belah pihak setuju dengan syarat tersebut. Sebuah hadits mengatakan, Rasulullah bersabda,

Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya dan akhlahnya baik. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk akhlaknya.”


       Adat telah membentuk pribadi masyarakat kita menjadi pribadi yang materialistis. Betapa tidak, sebelum akad dilangsungkan si lelaki sudah disibukkan dengan memikirkan uang yang akan diserahkan kepada orang tua si perempuan. Ini berbeda dengan mahar yang ditentukan antara si perempuan dan si lelaki. Jumlah seserahan tersebut pun sangat variatif bergantung dari strata sosial seseorang. Bahkan di beberapa kejadian, lelaki dengan kondisi ekonomi menengah kebawah dipaksa secara tidak langsung untuk menyiapkan sejumlah uang dalam jumlah besar agar bisa menikahi si perempuan. Yang menjadi poin di pembahasan ini adalah bahwa mempersulit berbeda dengan kesulitan. Adakalanya terhambatnya akad nikah karena keluarga wanita mempersulit proses pernikahan. Adakalanya kedua pihak tidak mempersulit proses namun mereka menemui kesulitan-kesulitan. Wallahualam bissawab.
       Disisi lain, di sebagian masyarakat ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Di sebagian masyarakat, pernikahan sudah bukan lagi bentuk syukur kepada Allah dengan mengharap do’a barakah dari para tamu untuk kedua mempelai. Pesta pernikahan sudah menjadi pertaruhan strata sosial sehingga perhitungan-perhitungan penilaian sosial menjadi sangat diperhatikan. Seharusnya pernikahan itu sangat sensitif. Hampir setiap hal yang berkaitan dengan nikah sangat sensitif . hampir setiap proses dan tahap peka terhadap munculnya sikap maupun perasaan-perasaan tertentu secara khusus, baik yang dinyatakan maupun tidak. Apa saja yang ada dalam proses menuju pernikahan maupun fase-fase awal pernikahan mudah membangkitkan perasaan yang kuat, negatif maupun positif. Untuk itu, ada baiknya bagi si laki-laki dan perempuan untuk mengutarakan konsep pernikahan yang mereka inginkan agar terhindar dari murka Allah. Setidaknya yang seperti itu lebih baik untuk keluarga kedua belah pihak. Semoga! (Ardi, KM-GPK)


3 komentar: