Kamis, 04 Oktober 2012

MENIKAH SEBAGAI SOLUSI PENCITRAAN


        Adat, tradisi, budaya atau apapun kita menyebutnya seringkali membuat kita merasa terkekang, melumrahkan hal-hal yang sebenarnya tak sesuai dengan esensi adat, tradisi, maupun budaya itu sendiri dengan tujuan agar terlihat baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa. Masyarakat kita mengenal adat, tradisi dan semacamnya sebagai sebuah alat yang mengatur tingkah laku serta sikap kita dalam menghadapi segala hal yang timbuk di dalam lingkungan kita. Namun seiring dengan melebarnya batasan kebutuhan oleh setiap individu menimbulkan pergeseran pada esensi ‘alat’ tersebut.
Sebut saja diantaranya adalah; pengajian untuk memperingati kematian seseorang dengan suguhan makanan yang berbeda-beda setiap malamnya, pembicaraan mengenai uang ‘seserahan’ yang lebih mirip transaksi jual beli hewan ternak di pasar saat proses menikahkan putra-putri kita, acara Maulid Nabi Muhammad yang terkesan mubadzir, dan sederetan kegiatan lainnya yang makin lama makin merusak tatanan adat-istiadat kita terutama pada masalah akidah.

       Di akhir bulan September kemarin, beberapa surat kabar harian lokal mengangkat issu seputar bergesernya esensi peraturan-peraturan yang kita sebut dengan adat-istiadat ini. Tajuk pada surat kabar tersebut berbunyi, ‘Pelaku Photo Mesum Dinikahkan”. Tak berselang lama setelah beredarnya photo dua pelaku photo mesum yang berasal dari Kecamatan Sembalun, Lombok Timur itu, dikonfirmasi bahwa keduanya akan segera dinikahkan oleh pihak keluarga lantaran keluarga tidak ingin memperpanjang masalah ini ke pihak berwajib. Hal serupa bahkan lebih miris terjadi di masyarakat kita adalah ketika mendapati putra-putri kita harus dinikahkan karena ‘kecelakan’ (Married by accident) atau yang biasa disebut hamil di luar nikah.

          Hal-hal semacam itu seharusnya tak bisa dibenarkan dari sisi agama. Merunut dari beberapa firman Allah diantaranta;
Dan permpuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS Ath Tholah 4)
Lebih lanjut dijelaskan pada firman selanjutnya;
Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habisnya ‘iddah” (Al Baqarah;234)

        Merujuk dari dua firman tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa menikahkan perempuan yang hamil di luar nikah tidak dibenarkan dan hukumnya haram dengan alasan apapun. Inilah yang dimaksudkan dengan pergeseran nilai dari peraturan yang kita sebut sedagai adat dan tradisi tersebut. dengan alasan menjaga nama baik (pencitraan), orang tua yang dalam kondisi ini melegalkan hal yang diharamkan oleh agama. 

Seringkali kita lebih mementingkan pendapat orang lain daripada memikirkan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.  Membenarkan alasan untuk mendapatkan rasa aman untuk diri sendiri dan keluarga. Manusia memang memiliki naluri untuk mempertahankan diri, namun dengan catatan tidak menempatkannya pada pori yang salah.Bukankah alasan senantiasa benar bagi yang beralasan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar