Adat, tradisi, budaya atau
apapun kita menyebutnya seringkali membuat kita merasa terkekang, melumrahkan
hal-hal yang sebenarnya tak sesuai dengan esensi adat, tradisi, maupun budaya
itu sendiri dengan tujuan agar terlihat baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa.
Masyarakat kita mengenal adat, tradisi dan semacamnya sebagai sebuah alat yang
mengatur tingkah laku serta sikap kita dalam menghadapi segala hal yang timbuk
di dalam lingkungan kita. Namun seiring dengan melebarnya batasan kebutuhan
oleh setiap individu menimbulkan pergeseran pada esensi ‘alat’ tersebut.
Sebut saja diantaranya adalah;
pengajian untuk memperingati kematian seseorang dengan suguhan makanan yang
berbeda-beda setiap malamnya, pembicaraan mengenai uang ‘seserahan’ yang lebih
mirip transaksi jual beli hewan ternak di pasar saat proses menikahkan
putra-putri kita, acara Maulid Nabi Muhammad yang terkesan mubadzir, dan
sederetan kegiatan lainnya yang makin lama makin merusak tatanan adat-istiadat
kita terutama pada masalah akidah.
Di akhir bulan September
kemarin, beberapa surat kabar harian lokal mengangkat issu seputar bergesernya
esensi peraturan-peraturan yang kita sebut dengan adat-istiadat ini. Tajuk pada
surat kabar tersebut berbunyi, ‘Pelaku Photo Mesum Dinikahkan”. Tak berselang
lama setelah beredarnya photo dua pelaku photo mesum yang berasal dari
Kecamatan Sembalun, Lombok Timur itu, dikonfirmasi bahwa keduanya akan segera
dinikahkan oleh pihak keluarga lantaran keluarga tidak ingin memperpanjang
masalah ini ke pihak berwajib. Hal serupa bahkan lebih miris terjadi di
masyarakat kita adalah ketika mendapati putra-putri kita harus dinikahkan
karena ‘kecelakan’ (Married by accident) atau yang biasa disebut hamil di luar
nikah.
Hal-hal semacam itu seharusnya
tak bisa dibenarkan dari sisi agama. Merunut dari beberapa firman Allah
diantaranta;
“Dan permpuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya” (QS Ath Tholah 4)
Lebih lanjut dijelaskan pada
firman selanjutnya;
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah
sebelum habisnya ‘iddah” (Al Baqarah;234)
Merujuk dari dua firman
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa menikahkan perempuan yang hamil di luar
nikah tidak dibenarkan dan hukumnya haram dengan alasan apapun. Inilah yang
dimaksudkan dengan pergeseran nilai dari peraturan yang kita sebut sedagai adat
dan tradisi tersebut. dengan alasan menjaga nama baik (pencitraan), orang tua
yang dalam kondisi ini melegalkan hal yang diharamkan oleh agama.
Seringkali kita lebih
mementingkan pendapat orang lain daripada memikirkan kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuat. Membenarkan alasan
untuk mendapatkan rasa aman untuk diri sendiri dan keluarga. Manusia memang
memiliki naluri untuk mempertahankan diri, namun dengan catatan tidak
menempatkannya pada pori yang salah.Bukankah alasan senantiasa benar bagi yang
beralasan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar